Pusat
keanekaragaman hayati laut dunia berada di kawasan yang dinamakan segitiga
karang dunia. Di wilayah ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi
untuk semua ekosistem pesisir yang ada di dunia. Tetapi keadaan tersebut
mengalami penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil
penelitian para ahli kelautan, mengungkapkan bahwa ancaman terbesar untuk
berkurangnya stok perikanan adalah overfishing.
Secara sederhana overfishing dapat
diartikan sebagai penurunan jumlah sumberdaya laut yang tajam disebabkan
karena aktivitas penangkapan semakin tinggi
untuk memenuhi kebutuhan protein sehingga menimbulkan degradasi pada system di
laut, sementara sumber daya ikan dan
biota laut lainnya semakin berkurang tanpa ada kesempatan untuk bereproduksi.
Ada beberapa defenisi
dan bentuk overfishing yang yang
terjadi diantaranya adalah :
a. Growth
overfishing
Ikan ditangkap sebelum sempat
tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan
mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas
alami (misalnya pemangsaan).
b. Recruitment
overfishing
Pengurangan melalui penangkapan
terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup
banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok
yang sama.
c. Biological
overfishing
Kombinasi dari growth overvishing dan recruitment overfishing akan terjadi
manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui
tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY.
d. Economic
overfishing
Terjadi bila tingkat upaya
penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk
menghadirkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor
dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari penangkapan. Perlu dicatat bahwa
tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY. Perbaikan
pengelolaan akan menurunkan biaya produksi melalui pengurangan upaya
penangkapan dengan demikian menurunkan upaya penangkapan, selain itu perbaikan
pengelolaan juga akan meningkatkan pemerataan, yakni telah banyak dan/atau
lebih murah tersedia makanan bagi masyarakat yang tertinggal dan kurang mampu. Sebagai bahan tambahan
empat jenis overfishing klasik tersebut yang dapat menimpa semua bentuk perikanan
atau sumberdaya ikan didunia, terdapat bentuk overfishing yang terutama relevan
dengan perikanan tropis yakni ecosystem
overfishing.
e. Ecosystem
overfishing
Overfishing jenis ini dapat
terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok
sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target
menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan
timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar
kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil dan akhirnya kepada ikan
rucah (trash fish) dan/atau
invertebrata non komersial seperti ubur-ubur.
f.
Malthusian overfishing
Malthusian
overfishing
merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur
dari berbagai aktifitas berbasis darat (land-based
activities) kedalam perikanan, pantai dalam jumlah yang berlebihan yang
berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung
menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan
pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida
dibeberapa perikanan laguna dan estuarine (Widodo, J dan Suadi, 2008).
Secara
global, keadaan overfishing merupakan
keadaan yang sudah sangat serius untuk ditangani. Semakin lama jumlah armada semakin
bertambah menjadi dua sampai tiga kali lipat dibandingkan 10 tahun yang lalu
dengan peralatan teknologi yang semakin canggih tanpa memperhatikan jumlah
ketersediaan ikan dan species laut lainnya di alam. Misalnya di Inggris,
berdasarkan pemberitaan di Media Indonesia edisi 11 Mei 2010, bahawa, nelayan
di Inggris harus berupaya lebih keras untuk mengais sisa-sisa ikan di perairan
mereka. Mereka harus bekerja 17 kali lebih keras untuk menangkap ikan dengan
jumlah yang sama dengan 120 tahun yang lalu. Hal itu disebabkan karena
peralihan dari penggunaan dari kapal layar ke kapal motor yang berteknologi
tinggi.
Penangkapan
berlebih menjadi masalah karena berdasarkan data yang diperoleh oleh organisasi
Food and Agriculture Organization
(FAO) yang dipublikasikan 2 tahun sekali menyebutkan bahwa lebih dari
80% stok ikan di dunia mengalami eksploitasi berlebihan atau telah dihabiskan
atau dalam status kolaps. Dan secara global, stok predator di laut sudah habis sekitar 90%. Hal ini merupakan
kasus yang serius karena populasi dari predator tingkat akhir merupakan kunci
indikator dari ekosistem yang sehat.
Keadaan
tersebut tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Sebagian besar perairan
Indonesia telah mengalami overfishing.
Hampir separuh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia mengalami tangkap
lebih yang sangat parah untuk ikan karang dan lobster, sementara lebih dari
separuh WPP Indonesia telah mengalami tangkap lebih untuk udang penaeid
(PRPT-BRKP dan PPPO-LIPI, 2002). Hal ini diperparah pula dengan masih
digunakannya data tangkapan per unit usaha serta model Maximum Sustainable
Yield (Tangkapan Maksimum Lestari) yang beresiko terhadap kelestarian dan
keuntungan jangka panjang perikanan Indonesia (Mous dkk.2005).
Berdasarkan
data yang dihimpun oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Indonesia bahwa meskipun
Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap yang sangat besar baik
dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Beberapa sumber daya perikanan
laut di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over exploitasi. Kondisi overfishing
ini tidak hanya disebabkan karena tingkat penangkapan yang melampaui
potensi lestari sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas
lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan
akibat pencemaran dan degradasi fisik ekosistem perairan sebagai tempat
pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebagian besar biota laut tropis. Selain itu juga,pembangunan yang tidak
ramah lingkungan, pemberian ijin untuk perikanan tangkap yang melebihi quota
dan pencurian ikan dari Negara asing juga merupakan penyebab terjadinya penurunan
ketersediaan ikan di Indonesia.
Departemen Kelautan dan
Perikanan DKP, melalui Ditjen Perikanan Tangkap sudah memperketat penerbitan
surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan
(SIKPI). Hal ini dilakukan agar penangkapan ikan di Indonesia tak overfishing.
Penertiban surat izin operasional penangkapan kapal itu juga dimaksudkan untuk
menekan jumlah kapal asing yang masuk secara ilegal di perairan Indonesia.
Meskipun sudah diperketat perijinannya penangkapan, tetapi keadaan yang
terjadi sekarang di wilayah Indonesia Timur masih sangat lemah pengawasannya.
Masih banyak terjadi pelanggaran perikanan yang merugikan banyak pihak, baik
masyarakat maupun keberlangsungan perikanan yang ada. Permasalahan overfishing ini
harus segera diatasi agar keberlanjutan sumberdaya ikan di Indonesia tetap
dapat terjamin dengan baik. Hal pertama yang harus dilakukan adalah penataan
kembali sistem perikanan nasional dengan tindakan pengelolaan sumberdaya ikan
secara rasional (pembatasan hasil tangkapan dan upaya tangkapan). Kedua,
pengelolaan sumberdaya ikan secara bertahap dan terkontrol yang diikuti dengan
monitoring seksama. Ketiga, kegiatan pengawasan, pengendalian, dan pemantauan
terhadap armada, alat tangkap dan nelayan untuk mengurangi resiko kegiatan overfishing.
Kabupaten
Raja Ampat merupakan salah satu dari salah satu wilayah di Indonesia Timur
memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di Indonesia dan mungkin juga di
dunia dimana letaknya berada di pusat segitiga karang dunia. Hasil survey dari
para ahli kelautan yang dilakukan di kepulauan Raja Ampat, menemukan 537 jenis
karang dan 1074 jenis ikan karang. Jumlah jenis karang tersebut adalah 75%
jenis karang yang pernah ditemukan di dunia dan terdapat 12 jenis mamalia laut,
baik paus, lumba-lumba maupun duyung.
Sejak
tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat telah mendeklarasikan 6 Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD). Salah satunya adalah KKLD Selat Dampier yang
memiliki luas wilayah 303.200 Ha dengan luas terumbu karang
8.699,484 ha, luas hutan mangrove sebesar 5.118 Ha
dan merupakan salah satu dari 6 KKLD yang memiliki potensi sumber daya alam
laut yang sangat tinggi karena memiliki dive
spot terbanyak dan menjadi favorit para penyelam ketika ke Raja Ampat. Para
penyelam bisa dengan mudah menemukan spot-spot yang khas seperti manta point dan blue water mangrove. Selain itu juga, potensi perikanan pelagis
juga sangat tinggi,misalnya ikan cakalang dan tenggiri. Tetapi sayangnya,
sumberdaya perikanan yang ada di kawasan Selat Dampier mengalami penurunan yang
diakibatkan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang merusak seperti bom
dan sianida serta overfishing yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan
yang berasal dari dalam maupun luar KKLD.
Berdasarkan
defenisi overfishing yang sudah
dijelaskan di atas, maka kegiatan overfishing
yang dilakukan di KKLD Selat Dampier termasuk pada kategori Recruitment overfishing, dimana pengurangan
melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok
induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan
rekrut terhadap stok yang sama. Hal itu dapat terlihat dari semakin
bertambahnya plasma penadah atau plasma penampung ikan hidup yang berada di
kawasan, baik yang dikelola oleh masyaraat lokal maupun pengusaha dari luar. Selain
itu juga, dengan bertambahnya jumlah armada perikanan skala kecil maupun
sedang dari luar kawasan dengan atau
tanpa ijin dari DKP Raja Ampat membuat keadaan stok ikan akan semakin
memprihatinkan karena penggunaan alat tangkap yang dipakai adalah alat tangkap
yang merusak seperti bom dan sianida serta tali rawai untuk penangkapan hiu. Hal
itu terjadi disebabkan karena kurangnya kontrol dari Pemerintah setempat
mengenai perijinan dan lemahnya pengawasan.
Solusi
yang bisa ditawarkan untuk kasus overfishing
yang terjadi di KKLD Selat Dampier zonasi yang diputuskan secara bersama serta
pengelolaannya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholders baik pemerintah, masyarakat
maupun lembaga lain serta kepatuhan yang tinggi akan peraturan yang diterapkan
dalam zona yang sudah di atur. Diharapkan dengan adanya peraturan yang
ditegakkan dalam zonasi dan monitoring serta
pengawasan yang ketat dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan
KKLD, maka akan menunjang penurunan overfishing
di dalam kawasan. Karena dalam zonasi yamg dibentuk terdapat juga zona larang
tangkap yang melindungi beberapa wilayah yang penting bagi perikanan baik
lokasi pemijahan, Nursery ground dan feeding ground yang mampu menunjang
perikanan di kawasan dan sekitarnya.
Kegiatan lainnya adalah kegiatan pariwisata berkelanjutan yang merupakan
salah satu alternative mata pencaharian yang dapat mengurangi dampak dari overfishing. Berdasarkan penelitian,
tingkat ketertarikan para wisatawan baik asing maupun lokal untuk kegiatan
pariwisata bahari, darat maupun budaya di Raja Ampat khususnya Selat Dampier sangat
tinggi sehingga bisa mendatangkan pendapatan yang cukup signifikan bagi
perekonomian daerah dalam jangka panjang. Selain itu juga, sektor ini juga dapat
menyumbang langsung bagi perekonomian rakyat jika direncanakan dan dikelola
dengan baik (Dohar dan Anggraeni,2006).
Refrensi :
Database Pembangunan Kelautan dan Perikanan.2009. Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia.
Dikunjungi pada 25 Mei 2009 di alamat http://ditkp.com/?prov=0&sub=1
Dohar, Anita G dan Anggraeni Dessy.2006.Laporan Akhir Valuasi Ekonomi Sumber Daya
Alam di Kepulauan Raja Ampat. Conservation International dan UNIPA. Raja
Ampat
Habibi
Abdulah, Naneng Setiasih dan Jensi Sartin.2007. Satu Dekade Pemantauan Reef
Check: Kondisi dan Kecenderungan pada Terumbu Karang Indonesia. Jaringan Reef Check Indonesia.
Media Indonesia.2010. Laut Sepi Ikan Akibat Over Fishing. Dikunjungi pada 25
Mei 2009 di alamat http://www.mediaindonesia.com/kirim/2010/05/05/141968/23/2/Laut-Sepi-Ikan-Akibat-Over-Fishing.html
Mous, PJ., Pet, JS., Arifin, Z., Djohani, R., Erdmann, MV.,
Halim, A., Knight, M., Pet-Soede, L., Wiadnya, G. 2005. Policy needs to
improve marine capture fisheries management and to define a role for marine
protected areas in Indonesia. Fisheries Management and Ecology 12: 259–268
Overfishing – A Global Disaster.2007. Overfishing Basic. Dikunjungi pada 25 Mei 2009 di alamat http://overfishing.org/pages/what_is_overfishing.php
PAB-Online.2009. Tekan
Over Fishing DKP Perketat Izin Operasional Kapal. Dikunjungi pada 25 Mei
2009 di alamat http://web.pab-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=29497)
PRPT-BRKP dan PPPO-LIPI. 2002. Pengkajian Stok Ikan di
Perairan Indonesia 2001. Badan Riset Kelautan dan Perikanan - DKP bersama
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.Jakarta
Widodo, J dan Suadi, 2008. Pengelolaan Perikanan Sumberdaya laut. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
No comments:
Post a Comment