Friday, November 1, 2013

Overfishing Dan solusinya di KKLD Selat Dampier

Pusat keanekaragaman hayati laut dunia berada di kawasan yang dinamakan segitiga karang dunia. Di wilayah ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi untuk semua ekosistem pesisir yang ada di dunia. Tetapi keadaan tersebut mengalami penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil penelitian para ahli kelautan, mengungkapkan bahwa ancaman terbesar untuk berkurangnya stok perikanan adalah overfishing. Secara sederhana overfishing dapat diartikan sebagai penurunan jumlah sumberdaya laut yang tajam disebabkan karena  aktivitas penangkapan semakin tinggi untuk memenuhi kebutuhan protein sehingga menimbulkan degradasi pada system di laut,  sementara sumber daya ikan dan biota laut lainnya semakin berkurang tanpa ada kesempatan untuk bereproduksi.
Ada beberapa defenisi dan bentuk overfishing yang yang terjadi diantaranya adalah :

a.      Growth overfishing
Ikan ditangkap sebelum sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan).
b.      Recruitment overfishing
Pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama.
c.       Biological overfishing
Kombinasi dari growth overvishing dan recruitment overfishing akan terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY.
d.      Economic overfishing
Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghadirkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari penangkapan. Perlu dicatat bahwa tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY. Perbaikan pengelolaan akan menurunkan biaya produksi melalui pengurangan upaya penangkapan dengan demikian menurunkan upaya penangkapan, selain itu perbaikan pengelolaan juga akan meningkatkan pemerataan, yakni telah banyak dan/atau lebih murah tersedia makanan bagi masyarakat yang tertinggal  dan kurang mampu. Sebagai bahan tambahan empat jenis overfishing klasik tersebut yang dapat menimpa semua bentuk perikanan atau sumberdaya ikan didunia, terdapat bentuk overfishing yang terutama relevan dengan perikanan tropis yakni ecosystem overfishing.
e.       Ecosystem overfishing
Overfishing jenis ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur.
f.        Malthusian overfishing
Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktifitas berbasis darat (land-based activities) kedalam perikanan, pantai dalam jumlah yang berlebihan yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida dibeberapa perikanan laguna dan estuarine (Widodo, J dan Suadi, 2008).
Secara global, keadaan overfishing merupakan keadaan yang sudah sangat serius untuk  ditangani. Semakin lama jumlah armada semakin bertambah menjadi dua sampai tiga kali lipat dibandingkan 10 tahun yang lalu dengan peralatan teknologi yang semakin canggih tanpa memperhatikan jumlah ketersediaan ikan dan species laut lainnya di alam. Misalnya di Inggris, berdasarkan pemberitaan di Media Indonesia edisi 11 Mei 2010, bahawa, nelayan di Inggris harus berupaya lebih keras untuk mengais sisa-sisa ikan di perairan mereka. Mereka harus bekerja 17 kali lebih keras untuk menangkap ikan dengan jumlah yang sama dengan 120 tahun yang lalu. Hal itu disebabkan karena peralihan dari penggunaan dari kapal layar ke kapal motor yang berteknologi tinggi.
Penangkapan berlebih menjadi masalah karena berdasarkan data yang diperoleh oleh organisasi Food and Agriculture Organization  (FAO) yang dipublikasikan 2 tahun sekali menyebutkan bahwa lebih dari 80% stok ikan di dunia mengalami eksploitasi berlebihan atau telah dihabiskan atau dalam status kolaps. Dan secara global, stok predator  di laut sudah habis sekitar 90%. Hal ini merupakan kasus yang serius karena populasi dari predator tingkat akhir merupakan kunci indikator dari ekosistem yang sehat.
Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Sebagian besar perairan Indonesia telah mengalami overfishing. Hampir separuh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia mengalami tangkap lebih yang sangat parah untuk ikan karang dan lobster, sementara lebih dari separuh WPP Indonesia telah mengalami tangkap lebih untuk udang penaeid (PRPT-BRKP dan PPPO-LIPI, 2002). Hal ini diperparah pula dengan masih digunakannya data tangkapan per unit usaha serta model Maximum Sustainable Yield (Tangkapan Maksimum Lestari) yang beresiko terhadap kelestarian dan keuntungan jangka panjang perikanan Indonesia (Mous dkk.2005).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Indonesia bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Beberapa sumber daya perikanan laut di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over exploitasi.  Kondisi overfishing ini tidak hanya disebabkan karena tingkat penangkapan yang melampaui potensi lestari sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan akibat pencemaran dan degradasi fisik ekosistem perairan sebagai tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebagian besar biota laut tropis.   Selain itu juga,pembangunan yang tidak ramah lingkungan, pemberian ijin untuk perikanan tangkap yang melebihi quota dan pencurian ikan dari Negara asing juga merupakan penyebab terjadinya penurunan ketersediaan ikan di Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan DKP, melalui Ditjen Perikanan Tangkap sudah memperketat penerbitan surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Hal ini dilakukan agar penangkapan ikan di Indonesia tak overfishing. Penertiban surat izin operasional penangkapan kapal itu juga dimaksudkan untuk menekan jumlah kapal asing yang masuk secara ilegal di perairan Indonesia. Meskipun sudah diperketat perijinannya penangkapan, tetapi keadaan yang terjadi sekarang di wilayah Indonesia Timur masih sangat lemah pengawasannya. Masih banyak terjadi pelanggaran perikanan yang merugikan banyak pihak, baik masyarakat maupun keberlangsungan perikanan yang ada. Permasalahan overfishing ini harus segera diatasi agar keberlanjutan sumberdaya ikan di Indonesia tetap dapat terjamin dengan baik. Hal pertama yang harus dilakukan adalah penataan kembali sistem perikanan nasional dengan tindakan pengelolaan sumberdaya ikan secara rasional (pembatasan hasil tangkapan dan upaya tangkapan). Kedua, pengelolaan sumberdaya ikan secara bertahap dan terkontrol yang diikuti dengan monitoring seksama. Ketiga, kegiatan pengawasan, pengendalian, dan pemantauan terhadap armada, alat tangkap dan nelayan untuk mengurangi resiko kegiatan overfishing.
Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu dari salah satu wilayah di Indonesia Timur memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di Indonesia dan mungkin juga di dunia dimana letaknya berada di pusat segitiga karang dunia. Hasil survey dari para ahli kelautan yang dilakukan di kepulauan Raja Ampat, menemukan 537 jenis karang dan 1074 jenis ikan karang. Jumlah jenis karang tersebut adalah 75% jenis karang yang pernah ditemukan di dunia dan terdapat 12 jenis mamalia laut, baik paus, lumba-lumba maupun duyung. 

Sejak tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat telah mendeklarasikan 6 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Salah satunya adalah KKLD Selat Dampier yang memiliki luas wilayah 303.200 Ha dengan luas terumbu karang 8.699,484 ha, luas hutan mangrove sebesar 5.118 Ha dan merupakan salah satu dari 6 KKLD yang memiliki potensi sumber daya alam laut yang sangat tinggi karena memiliki dive spot terbanyak dan menjadi favorit para penyelam ketika ke Raja Ampat. Para penyelam bisa dengan mudah menemukan spot-spot yang khas seperti manta point dan blue water mangrove. Selain itu juga, potensi perikanan pelagis juga sangat tinggi,misalnya ikan cakalang dan tenggiri. Tetapi sayangnya, sumberdaya perikanan yang ada di kawasan Selat Dampier mengalami penurunan yang diakibatkan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang merusak seperti bom dan sianida serta overfishing  yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan yang berasal dari dalam maupun luar KKLD.

Berdasarkan defenisi overfishing yang sudah dijelaskan di atas, maka kegiatan overfishing yang dilakukan di KKLD Selat Dampier termasuk pada kategori Recruitment overfishing, dimana pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Hal itu dapat terlihat dari semakin bertambahnya plasma penadah atau plasma penampung ikan hidup yang berada di kawasan, baik yang dikelola oleh masyaraat lokal maupun pengusaha dari luar. Selain itu juga, dengan bertambahnya jumlah armada perikanan skala kecil maupun sedang  dari luar kawasan dengan atau tanpa ijin dari DKP Raja Ampat membuat keadaan stok ikan akan semakin memprihatinkan karena penggunaan alat tangkap yang dipakai adalah alat tangkap yang merusak seperti bom dan sianida serta tali rawai untuk penangkapan hiu. Hal itu terjadi disebabkan karena kurangnya kontrol dari Pemerintah setempat mengenai perijinan dan lemahnya pengawasan.

Solusi yang bisa ditawarkan untuk kasus overfishing yang terjadi di KKLD Selat Dampier zonasi yang diputuskan secara bersama serta pengelolaannya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholders baik pemerintah, masyarakat maupun lembaga lain serta kepatuhan yang tinggi akan peraturan yang diterapkan dalam zona yang sudah di atur. Diharapkan dengan adanya peraturan yang ditegakkan dalam zonasi dan monitoring serta  pengawasan yang ketat dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan KKLD, maka akan menunjang penurunan overfishing di dalam kawasan. Karena dalam zonasi yamg dibentuk terdapat juga zona larang tangkap yang melindungi beberapa wilayah yang penting bagi perikanan baik lokasi pemijahan, Nursery ground dan feeding ground yang mampu menunjang perikanan di kawasan dan sekitarnya.
Kegiatan lainnya adalah  kegiatan pariwisata berkelanjutan yang merupakan salah satu alternative mata pencaharian yang dapat mengurangi dampak dari overfishing. Berdasarkan penelitian, tingkat ketertarikan para wisatawan baik asing maupun lokal untuk kegiatan pariwisata bahari, darat maupun budaya di Raja Ampat khususnya Selat Dampier sangat tinggi sehingga bisa mendatangkan pendapatan yang cukup signifikan bagi perekonomian daerah dalam jangka panjang.  Selain itu juga, sektor ini juga dapat menyumbang langsung bagi perekonomian rakyat jika direncanakan dan dikelola dengan baik (Dohar dan Anggraeni,2006).
 
Refrensi :
Database Pembangunan Kelautan dan Perikanan.2009. Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia. Dikunjungi pada 25 Mei 2009 di alamat  http://ditkp.com/?prov=0&sub=1
Dohar, Anita G dan Anggraeni Dessy.2006.Laporan Akhir Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam di Kepulauan Raja Ampat. Conservation International dan UNIPA. Raja Ampat
Habibi Abdulah, Naneng Setiasih dan Jensi Sartin.2007. Satu Dekade Pemantauan Reef Check: Kondisi dan Kecenderungan pada Terumbu Karang Indonesia. Jaringan Reef Check Indonesia.

Media Indonesia.2010. Laut Sepi Ikan Akibat Over Fishing. Dikunjungi pada 25 Mei 2009 di alamat http://www.mediaindonesia.com/kirim/2010/05/05/141968/23/2/Laut-Sepi-Ikan-Akibat-Over-Fishing.html
Mous, PJ., Pet, JS., Arifin, Z., Djohani, R., Erdmann, MV., Halim, A., Knight, M., Pet-Soede, L., Wiadnya, G. 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries management and to define a role for marine protected areas in Indonesia. Fisheries Management and Ecology 12: 259–268
Overfishing – A Global Disaster.2007. Overfishing Basic. Dikunjungi pada 25 Mei 2009 di alamat http://overfishing.org/pages/what_is_overfishing.php
PAB-Online.2009. Tekan Over Fishing DKP Perketat Izin Operasional Kapal. Dikunjungi pada 25 Mei 2009 di alamat  http://web.pab-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=29497)
PRPT-BRKP dan PPPO-LIPI. 2002. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia 2001. Badan Riset Kelautan dan Perikanan - DKP bersama Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.Jakarta

Widodo, J dan Suadi, 2008. Pengelolaan Perikanan Sumberdaya laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

No comments:

Post a Comment